1.
Etika sebagai tujuan
a. Pengertian Etika
Kata
“etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” yaitu ilmu yang secara khsuus
menyoroti perilaku manusia dari segi moral. Etika adalah cabang dari filosofi
yang berkaitan dengan kebaikan (rightness) atau moralitas (kesusilaan) dari
perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan
yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab. St. John of Damascus
(abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafatpraktis
(practicalphilosophy).
“ta etha”
(dalam bentuk jamak) yang artinya adalah adat kebiasaan. Arti dalam bentuk
jamak “ta etha” inilah yang melatarbelakangi
terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti
yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan
(K. Bertens, 2011).
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Etika” memiliki 3 arti :
·
Ilmu tentang apa yang baik dan yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
·
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak.
·
Nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan
kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah
diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia.
b. Prinsip-Prinsip Etika
Dalam
peradaban sejarah manusia sejak abad keempat sebelum Masehi para pemikir telah
mencoba menjabarkan berbagai corak landasan etika sebgai pedoman hidup
bermasyarakat. Para pemikir itu telah mengidentifikasikan sedikitnya terdapat
ratusan macam ide agung. Seluruh gagasan atau ide agung tersebut dapat diringkas
menjadi enam prinsip yang merupakan landasan penting etika, yaitu keindahan,
persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan dan kebenaran.
1. Prinsip
Keindahan
Prinsip ini mendasari segala sesuatu
yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan. Berdasarkan prinsip
ini, manusia memperhatikan nilai-nilai keindahan dan ingin menampakkan sesuatu
yang indah dalam perilakunya. Misalnya dalam berpakaian, penataan ruang, dan
sebagainya sehingga membuatnya lebih bersemangat untuk bekerja.
2. Prinsip
Persamaan
Setiap manusia pada hakikatnya memiliki
hak dan tanggungjawab yang sama, sehingga muncul tuntutan terhadap persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan, persamaan ras, serta persamaan dalam
berbagai bidang lainnya. Prinsip ini melandasi perilaku yang tidak
diskriminatif atas dasar apapun.
3. Prinsip
Kebaikan
Prinsip ini mendasari perilaku individu
untuk selalu berupaya berbuat kebaikan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Prinsip ini biasanya berkenaan dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti hormat
menghormati, kasih sayang, membantu orang lain, dan sebagainya. Manusia pada hakikatnya
selalu ingin berbuat baik, karena dengan berbuat baik dia akan dapat diterima
oleh lingkungannya. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat sesungguhnya betujuan untuk menciptakan kebaikan bagi
masyarakat.
4. Prinsip
Keadilan
Pengertian keadilan adalah kemauan yang
tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya mereka
peroleh. Oleh karena itu, prinsip ini mendasari seseorang untuk bertindak adil
dan proporsional serta tidak mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain.
5. Prinsip
Kebebasan
Kebebasan dapat diartikan sebagai
keleluasaan individu untuk bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan pilihannya
sendiri. Dalam prinsip kehidupan dan hak asasi manusia, setiap manusia
mempunyai hak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri
sepanjang tidak merugikan atau mengganggu hak-hak orang lain. Oleh karena itu,
setiap kebebasan harus diikuti dengan tanggungjawab sehingga manusia tidak
melakukan tindakan yang semena-mena kepada orang lain.
6. Prinsip
Kebenaran
Kebenaran biasanya digunakan dalam logika keilmuan
yang muncul dari hasil pemikiran yang logis/rasional. Kebenaran harus dapat
dibuktikan dan ditunjukkan agar kebenaran itu dapat diyakini oleh individu dan
masyarakat. Tidak setiap kebenaran dapat diterima sebagai suatu kebenaran apabila
belum dapat dibuktikan.
Semua prinsip yang
telah diuraikan itu nmerupakan prasyarat dasar dalam pengembangan nilai-nilai
etika atau kode etik dalam hubungan antarindividu, individu dengan masyarakat,
dengan pemerintah, dan sebagainya. Etika yang disusun sebagai aturan hukum yang
akan mengatur kehidupan manusia, masyarakat, organisasi, instansi pemerintah
dan pegawai harus benar-benar dapat menjamin terciptanya keindahan, persamaan,
kebaikan, keadilan, kebebasan dan kebenaran bagi setiap orang.
c. Basis Teori Etika
1. Etika
Teleologi
Teleologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu “telos”
yang memiliki arti tujuan. Dalam hal mengukur baik buruknya suatu tindakan
yaitu berdasarkan tujuan yang akan dicapai atau berdasarkan akibat yang
ditimbulkan dari tindakan yang telah dilakukan. Dalam teori teleologi terdapat
dua aliran, yaitu :
·
Egoisme Etis
Inti dari pandangan egoisme adalah
tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan
dan memajukan diri sendiri.
·
Utilitarianisme
Berasal dari bahasa Latin yaitu utilis yang memiliki arti bermanfaat. Menurut
teori ini, suatu perbuatan memiliki arti baik jika membawa manfaat bagi seluruh
masyarakat.
2. Deontologi
Deontologi berasal dari nahasa Yunani
yaitu ”deon” yang memiliki arti
kewajiban. Jika terdapat pertanyaan “Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan
itu harus ditolak karena buruk?”. Maka deontologi akan menjawab “karena
perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang”. Pendekatan
deontologi sudah diterima oleh agama dan merupakan salah satu teori etika yang
penting.
3. Teori
Hak
Dalam pemikiran moral saat ini, teori
hak merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik
buruknya sutu perbuatan atau perilaku. Teori hak ini merupakan suatu aspek dari
teori deontologi karena berkaitan dengan kewajiban. Hak didasarkan atas
martabat manusia dan martabat semua manusia adalah sama. Oleh karena itu, hak
sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
4. Teori
Keutamaan (Virtue)
Dalam teori keutamaan memandang sikap atau akhlak
seseorang. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah
diperoleh seseorang dan memungkinkan seseorang untuk bertingkah laku baik
secara moral. Contoh sifat yang dilandaskan oleh teori keutamaan yaitu
kebijaksanaan, keadilan, suka bekerja keras dan hidup yang baik.
d. Egoism atau Egoisme
Kata
egoisme merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin yakni ego, yang
berasal dari kata Yunani kuno yang masih digunakan dalam dalam bahasa Yunani
modern yang berarti diri atau saya dan kata “isme”, digunakan untuk menunjukkan
sistem kepercayaannya.
Egoisme
adalah cara untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang menguntungkan
bagi dirinya sendiri, dan umumnya memiliki pendapat untuk meningkatkan citra pribadi
seseorang dan pentingnya intelektual, fisik, sosial dan lainnya. Egoisme ini
tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang banyak pada umumnya
dan hanya memikirkan diri sendiri.
Egoisme
juga merupakan motivasi untuk mempertahankan dan menigkatkan pandangan yang
hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah
satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang
dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Hal ini berkaitan erat
dengan narsisme atau mencintai diri sendiri dan kecenderungan mungkin untuk
berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang
lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan
pada saat penolakan orang lain.
2.
Dalam menciptakan etika bisnis ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :
a. Pengendalian
Diri
Artinya pelaku-pelaku bisnis dan pihak
yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan
menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu
merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan
kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.
b. Pengembangan
Tanggungjawab Sosial (Social Responsbility)
Pelaku bisnis di sini dituntut untuk
peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan
memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh
kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga
yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan
kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku
bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan sikap tanggungjawab terhadap masyarakat sekitarnya.
Sumber Referensi :