Pemberian Terindah
“Ibu, bolehkah
aku meminta baju baru?” aku menunjukkan selembar halaman mode dari sobekan
majalah pembungkus gorengan yang aku beli tadi siang. Saat itu, Ibu baru saja
tiba di rumah setelah seharian penuh berada di luar untuk melakukan
pekerjaannya.
Ibu mengambil
kertas itu kemudian memperhatikan model baju yang aku inginkan, “Ibu tidak
punya uang buat membelinya.”
Aku menghela
napas. Sudah aku duga kalau ibu akan merespon permohonanku seperti itu. Dari
awal aku juga tidak banyak berharap. Aku hanya berusaha mencoba meminta, siapa
tahu saja kali ini ibu akan mengabulkan, tapi ternyata jawabnnya masih sama.
Aku mengambil
kertas itu kembali dari tangan ibu kemudian membiarkan ibu beristirahat
sementara aku kembali ke kamar dan mengerjakan tugas sekolah.
Ibuku sudah
berusia 50 tahun. Meskipun belum memasuki usia sebgai seorang lansia,
penampilan Ibu lebih tua dari penampilan ibu-ibu yang seumuran darinya.
*
Ibu bukan
seorang direktur, bukan juga seorang pegawai negeri atau karyawan
berpenghasilan jauh di atas UMR. Ibu hanya
seorang tukang es keliling.
Kurang dari
tiga tahun lalu, Ayah meninggal dunia. Penyakit kanker yang beliau derita tidak
bisa disembuhkan hingga akhirnya ayah pergi meninggalkan aku dan ibu. Kejadian
itu cukup membuat aku terpukul. Aku yang saat itu bari saja lulus dari bangku
SMP tidak dapat merayakan hari kelulusan dengan ayah, laki-laki yang paling aku
kasihi di dunia ini.
Sejak kematian
ayah, ibu bekerja semakin keras. Bahkan aku jarang sekali bertemu dengan
beliau. Pagi-pagi sekali, sebelum aku bangun biasanya ibu sudah berangkat. Sementara
kalau aku sudah tidur, saat itulah ibu baru pulang. Terkadang aku bertahan
menunggu ibu pulang kalau aku perlu bicara dengan beliau, contohnya seperti
malam ini saat aku mengutarakan keinginanku untuk dibelikan sebuah baju baru.
Sebuah permintaan bodoh yang mungkin tidak akan terkabul. Jarang sekali anak perempuan
dari seorang tukang es keliling bisa mendapatkan baju baru. Sekali setahun pun
belum tentu akan dibelikan.
Hmm...andai
saja ada yang mau bertukar posisi denganku, aku akan bersedia dengan senang
hati.
*
Berkat hasil
nilaiku yang selalu bagus setiap tahunnya, aku mendapatkan beasiswa penuh
selama tiga tahun yang diberikan oleh sebuah SMA favorit di Jakarta. Kesempatan
emas seperti ini tentu saja tidak mungkin aku lewatkan apalagi aku memang terancam tidak bisa melanjutkan sekolah kalau
tidak mendapat beasiswa.
Awalnya, aku
merasa senang bisa menjadi salah satu dari sekian banyak siswa yang bersekolah
di sini. Tapi nyatanya, aku tidak bisa masuk dalam lingkungan pergaulan mereka.
Sampai hari ini, gebap 2 tahun 3 bulan aku mengikuti seluruh kegiatan belajar
mengajar yang ada di sekolah tetapi belum ada seorang pun yang bisa berteman
dekat denganku. Sebenarnya murid-murid di sini tidak sombong. Tanpa bermaksud
untuk menyombongkan diri, sudah menjadi kebiasaan hampir seluruh pelajar di
sini terutama yang cewek selalu membhas berbagai barang bermerek yang mereka
beli. Entah itu barang fashion terbaru, gadget, sampai tempat-tempat nongkrong
high class yang menjadi favorit mereka. Dengan komunitas high class seperti
itu, aku sadar diri kalau anak dari seorang tukang cuci keliling tidak bisa
bergaul dengan anak direktur, pemilik perusahaan, atau pekerjaan istimewa
lainnya.
“Sila..”
Saat aku
sedang membaca buku Fisika pada jam istirahat, Raissa datang ke mejaku sambil
membawa sebuah undangan yang langsung diberikan padaku saat gadis cantik berwajah
indo itu sudah berdiri di depanku. “Ini pesta sweet seventeen aku. Semua
teman-teman seangkatan kita akan datang, jadi kamu juga harus datang,” ujar
Raissa sambil tersenyum manis sebelum ia pergi menjauhi mejaku untuk membagikan
undangan itu pada teman-teman lainnya.
Inilah salah
satu alasan kenapa aku tidak mencap teman-teman sekolahku sebagai orang-orang
sombong. Meskipun mereka punya banyak uang, mereka selalu mengundangku dengan
tulus untuk datang ke pesta senilai puluhan juta rupiah yang mereka adakan.
Sejak tahun pertama sampai tahun terakhir aku sekolah, sudah puluhan undangan
yang aku terima tapi tidak ada satu acara pun yang aku penuhi. Alasannya
klasik, aku tidak punya baju, transportasi, dan tidak punya teman yang asik
untuk berpesta.
“Untung mama
membelikan aku baju saat sedang liburan ke Paris. Aku bisa memakai baju itu,”
suara Selena membuyarkan lamunanku. Ternyata di pojokan kelas, seluruh cewek
yang ada di kelasku sedang berkumpul dan seperti biasa, mereka membahas
barang-barang mahal yang baru saja dibelikan oleh orang tua mereka.
Ya, seluruh
cewek di kelas, kecuali aku.
*
“Ibu, kumohon
belikan aku baju baru,” aku langsung menghampiri ibu pada malam hari, saat ibu
baru saja pulang
Ibu melepas
penatnya sambil di atas bangku yang sudah tidak layak pakai lagi.
“Sudah lama
aku tidak punya baju baru. Bahkan Natal tahun lalu Ibu juga tidak membelikan
baju,” aku mengeluarkan undangan beramplop silver yang Raissa berikan padaku
lalu memperlihatkannya pada ibu. “Temanku akan berulangtahun. Aku ingin sekali
hadir di pesta itu, tapi aku tidak mungkin datang dengan baju-baju kumal yang
ada di kamarku. Belikan aku baju baru, Bu,” tanpa sadar, mataku mulai
berkaca-kaca.
Ibu mengambil
undangan tersebut, “ Akan Ibu belikan.”
“Ibu serius?!”
Aku tersenyum lebar mendengar jawaban ibu. Ini benar-benar di luar dugaanku,
aku senang sekali! Saking senangnya aku langsung tertawa girang sambil memeluk
ibu dan mengucapkan puluhan kata “terima kasih”.
*
Janji ibu
untuk membelikan aku baju baru membuat aku jadi lebih bersemangat. aku tidak
minder saat sekumpulan cewek-cewek di kelas sedang membuat forum. Bahkan sekali
aku ikut dengan mereka. Meskipun tidak terlalu mengerti apa yang sedang mereka
bicarakan tetapi itu cukup menghibur.
Beberapa kali
aku juga berkhayal tentang pesta ulang tahun Raissa. Di pesta yang megah itu,
aku datang dengan penampilan yang jauh berbeda dengan penampilanku sehari-hari.
Kemudian tamu-tamu yang yang ada di pesta terpesona melihatku, dan pada bagian
acara dansa banayk cowok yang ingin berdansa denganku. Kalau membayangkannya,
aku jadi tertawa sendiri.
Akhirnya hari
itu tiba. Satu hari sebelum ulang tahun Raissa, hari di mana ibu akan menepati
janjinya untuk membawakan baju baru yang aku inginkan.
Malam itu aku
menunggu ibu dengan sabar. Jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam saat Ibu
datang lalu masuk ke dalam rumah. Aku segera berlari menghampiri ibu lalu
mengambil kantong plastik yang ibu pegang.
Seketika
senyum riangku berubah menjadi ekspresi kecewa. Aku memperhatikan baju berwarna
mencolok dengan motif bunga warna warni dan potongan yang norak. Baju ini lebih
pantas disebut dengan daster formal, jauh berbeda dengan gaun malam yang aku
inginkan.
“Aku nggak
mungkin datang ke pesta dengan baju norak seperti ini!” aku melempar baju baru
itu ke lantai sambil berteriak. “Apa Ibu nggak bisa memberikan aku baju yang
jauh lebih bagus dari daster seperti ini?! Aku malu, Bu! Teman-teman bisa
mengejekku! Mereka bisa berpikir kalau
aku adalah pelayan pesta, bukan tamu!” teriakku sambil menangis.
Ibu
berjongkok, mengambil baju yang aku lempar lalu melipatnya tanpa berdiri.
“Aku selalu
berusaha jadi anak yang baik! Aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk
sekolahku, aku juga selalu mendapat peringkat satu di kelas bahkan menjadi
siswa terbaik di sekolah! Teman-temanku, yang tidak sepintar aku bisa dengan
mudah mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan! Tapi kenapa Ibu nggak
bisa memenuhi keinginanku? Aku nggak minta baju baru setiap bulan, Bu! Bahkan
juga tidak setiap tahun!” aku berteriak sekencang-kencangnya kemudian berlari
masuk ke dalam kamarku.
Malam itu aku
habiskan dengan menangis. Sampai keesokan paginya, aku terbangun dengan mata
sembap dan memutuskan untuk tidak berangkat ke sekolah, juga pesta Raissa.
*
Seminggu
berlalu sejak hari di mana ibu memberikan aku sebuah baju baru. Sejak malam
itu, aku tidak pernah bertemu dengan ibu. Sebenarnya aku sengaja menghindar
dari ibu. Aku selalu bangun lebih siang supaya tidak bertemu dengan ibu. Malam
harinya pun juga seperti itu. Aku tidur
cepat sebelum ibu pulang.
Pesta ulang
tahun Raissa sendiri menajdi topik hangat yang selama satu minggu ini menjadi
bahan pembicaraan anak-anak di sekolah. Dari obrolan yang aku dengar, Raissa
menghabiskan sekitar seratus juta rupiah untuk pesta ulang tahunnya. Mulai dari
menyewa ballroom di hotel berbintang lima, sekaligus katering yang disediakan
oleh hotel tersebut yang tentunya dengan koki-koki berkualitas tinggi dengan
makanan ala hollywood. Belum lagi gaun malam warna brokenwhite yang dibeli
langsung dari Milan sebagai hadiah ulang tahun dari ayahnya.
Sekarang aku
benar-benar tidak menyesali keputusanku untuk tidak datang ke acara itu. Kalau
aku datang dengan ‘daster formal’ pemberian ibu, aku hanya akan menjadi seorang
gembel yang bisa masuk ke dalam hotel berbintang. Memalukan.
*
”Bu, beli
esnya ya satu,” suara nyaring seorang anak kecil mengalihkan perhatianku yang
siang itu sedang berjalan menuju rumah sepulang sekolah.
Aku cukup
terkejut saat melihat lawan bicara anak tersebut. Seorang wanita setengah baya
yang tampak lelah dengan baju lusuh dan kulit yang menggosong akibat paparan
sinar matahari mendorong gerobak es yang beratnya tidak seringan yang terlihat
oleh mata.
Wanita itu
adalah ibuku.
Setelah
selesai membuat pesanan anak kecil tersebut, ibu segera mendorong gerobak esnya
menuju pangkalan selanjutnya di Sekolah Dasar yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Ini pertama kalinya aku melihat ibu bekerja, mendorong gerobak es dengan
semangatnya yang tidak pernah luntur oleh paparan sinar matahari yang selalu
dia dapatkan setiap harinya.
Sebelum ibu
meninggalkan pangkalannya lebih jauh, au membuntuti ibu dari jauh secara
diam-diam. Aku seakan bisa mendengar hembusan napas ibu yang terputus-putus, namun ibu tetap semangat
mendorong gerobak esnya di tengah jalan
raya yang cukup ramai. Saat jalanan menanjak
ibu harus mendorong gerobak dengan sekuat tenaga. Bisa kubayangkan, aku
yang hanya berjalan biasa saja kelelahan harus berjalan menanjak seperti ini,
apalagi ibu yang harus mendorong beban yang lumayan berat.
Meski begitu,
seolah tidak merasa lelah sedikit pun, ibu tetap melanjutkan pekerjaannya untuk
menjajakan dagangannya supaya habis terjual.
Sebenarnya aku
ingin segera menghampiri ibu lalu memeluknya, tapi entak kenapa kakiku terasa
berat untuk melangkah mendekati ibu. Aku malah menyetop sebuah angkot yang akan
membawaku kembali pulang ke rumah.
*
Jam sudah
menunjukkan pukul sembilan malam. Aku yang malam itu sedang belajar sama sekali
tidak konsen dengan materi yang sedang aku baca. Aku terus memikirkan ibu,
cemas kenapa sampai jam segini ibu belum juga pulang.
Kalau
mengingat apa yang kulihat tadi siang, aku benar-benar menyesal. Aku terus
memaki diri sendiri, merasa bersalah karena tidak bisa menjadi seorang anak
yang baik.
Selang
beberapa menit, tiba-tiba mataku tertuju pada baju terusan berwarna mencolok
dengan motif bunga warna-warni yang terlipat rapih di atas bangku. Aku langsung
terbayang kejadian satu minggu lalu saat ibu memberikan baju itu padaku tapi
aku malah melemparnya lalu membentak ibu.
Aku harus
mencari Ibu! Ujarku dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi aku segera berlari ke
luar dari rumah. Aku terus melangkah, padahal aku sendiri tidak tahu harus
mencari ibu ke mana. Semua ekspresi wajah ibu baik saat beliau tersenyum,
tertawa, sedih, kecewa, marah, terbayang olehku.
“Ibuuuuuuuuuuu!!!”
aku berteriak sekencang-kencangnya sambil menangis.
Satu jam
berlalu, tetapi aku belum menemukan ibu. Aku memutuskan untuk berjalan pulang
ke rumah dengan kepala tertunduk dan mata bengkak.
Jagalah Ibumu
dengan baik. Buat Ibu bahagia dan merasa bangga padamu. Ayah percayakan itu
padamu.
Kalimat yang
ayah ucapkan sebelum ayah meninggal itu samar-samar terdengar di telingaku,
seolah ayah ada disampingku untuk membisikan kembali kalimat itu.
“Maafkan aku,
Ayah,” ucapku dengan suara pelan yang
nyaris tidak terdengar.
Begitu kakiku
melangkah memasuki ujung jalan, aku menegakkan kepalaku dan melihat ibu sedang
mendorong gerobak es beberapa meter di depanku.
Aku mengucek
mata berkali-kali untuk memastikan bahwa yang aku lihat adalah kenyataan. Yang
aku lihat adalah Ibuku yang baru saja pulang berjualan.
“Sila? Sedang
apa kamu malam-malam begini? Biasanya kamu sudah tidur?” tanya ibu yang kini
sudah berdiri tepat di depanku dengan wajah yang penuh keringat. Meski begitu,
tidak ada ekspresi lelah yang ibu tunjukkan. Yang ada hanyalah ekspresi yang
menggambarkan betapa bersyukur dan semangatnya ibu dalam menjalani kehidupan.
Aku memeluk
Ibu dengan erat lalu menangis lega dalam pelukannya. “Maafkan aku Ibu,”
bisikku.
*
Sabtu pagi,
aku dan ibu berkunjung ke makam ayah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
tempat tinggal kami. Ibu membelikan seikat bungan mawar merah lalu menancapkan
tangkai mawar itu di dekat batu nisan ayah.
Ayahku adalah
pria yang sangat beruntung , Ayah memiliki seorang pendamping hidup yang begitu
setia dan hebat, yaitu ibuku!
Hari itu, Ibu
memutuskan untuk libur berdagang es karena hampir dua minggu belakangan ini ibu
selalu bekerja keras bahkan di hari Sabtu dan Minggu. Tapi hari ini, aku
menghabiskan waktu berdua bersama ibu ke makam ayah dengan memakai daster
formal pemberian Ibu.
“Jangan
seperti Ibu. Ibu tidak sekolah jadi tidak pintar. Ibu terus berdoa agar kamu
bisa berjodoh dengan laki-laki yag setia, baik hati dan cerdas,” kata ibu
sambil menelusuri jalan. “Belajarlah yang rajin, pertahankan prestasi yang
sudah kamu dapatkan supaya nanti setelah dewasa, kamu tidak perlu mengalami
hidup seperti sekarang. Kamu harus bisa memberikan kehidupan yang jauh lebih
baik buat anak-anakmu. Jangan hidup seperti Ibu,” lanjut Ibu sambil tersenyum.
Sepanjang
hari Sabtu itu aku habiskan hanya berdua
dengan ibu. Untuk pertama kalinya Ibu mentraktir aku makan di sebuah restoran
sederhana dan membelikan aku dress warna putih yang sangat cantik. Meski aku
terus-terusan menolak, ibu tetap membelikannya. Kata ibu, inilah hasil kerja
sepanjang hari yang telah ibu lakukan, sekaligus sebagai hadiah karena aku
telah menjadi anak yang berprestasi.
***